"Welcome to my blog, sharing knowledge and information"

Selasa, 31 Mei 2011

I La Galigo, Mutiara yang “Hilang”

I La Galigo tergurat di atas lembar-lembar lontar dalam bentuk puisi dengan bahasa Bugis kuno. Mahakarya ini diperkirakan ditulis pada kisaran abad ke-13 hingga abad ke-15 Masehi. Puisi dalam bentuk sajak bersuku lima yang menceritakan asal-usul manusia ini juga berfungsi sebagai almanak sehari-hari.

Patut dicatat bahwa naskah I La Galigo adalah karya sastra paling tebal sedunia, mengalahkan epik legendaris dari India, Mahabharata. Jumlah larik syair Mahabharata adalah 160.000 larik, sedangkan I La Galigo memiliki jumlah larik syair lebih dari dua kali lipatnya, yakni lebih kurang sebanyak 360.000 larik. Inilah mahakarya peradaban Bugis yang luar biasa.

Cerita I La Galigo dikembangkan melalui tradisi lisan masyarakat Bugis dan masih sering dilantunkan dalam pelaksanaan beberapa upacara adat Bugis. Sebagian rangkaian kisah dalam naskah monumental ini masih tersimpan di Museum I La Galigo, Makassar, Sulawesi Selatan. I La Galigo dinilai sebagai salah satu bukti bahwa orang Bugis adalah suku bangsa yang besar dan berperadaban tinggi. Namun, karya besar ini seolah tidak mendapat perhatian lagi, termasuk sosok Bissu (pelantun I La Galigo) yang sebenarnya memiliki peran sentral dalam pelestarian I La Galigo. Bissu seringkali menuai anggapan miring dari masyarakat hanya karena berjender ganda. Padahal, mereka adalah penjaga setia tradisi I La Galigo.

Cukupkah kita hanya sekadar membanggakan I La Galigo? Tentu saja tidak! Aksi nyata untuk melestarikan aset budaya ini jauh lebih penting daripada hanya membanggakannya semata. I La Galigo sudah kenyang akan sanjungan. Yang diperlukannya hanyalah perhatian yang serius dan berkelanjutan dari pihak-pihak terkait. Bentuk dari perhatian itu mungkin dapat dimulai dengan mengangkat derajat sosok Bissu.

Cerita tentang kebesaran bangsa Bugis seakan-akan hanya menjadi awan gelap di negeri sendiri, termasuk di tempat asalnya, Sulawesi Selatan. Di negeri para pelaut itu, I La Galigo hanya mengisi imajinasi di ruang ingatan orang semata. Hanya sedikit kalangan tertentu yang masih merawat mahakarya ini dengan sungguh-sungguh. Ironisnya, di luar negeri, I La Galigo justru lebih dihargai. Pada tahun 2004, misalnya, kisah dalam epik I La Galigo dipentaskan di berbagai belahan dunia, termasuk di Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan di negara-negara di Asia.

Baru pada tahun 2011 ini, I La Galigo pulang kampung ke tanah Bugis. Pada 22-24 April 2011, bertempat di pelataran Benteng Fort Rotterdam, Makassar, epik I La Galigo dipentaskan. Akan tetapi, pergelaran I La Galigo di Makassar masih menyisakan kesan miris karena pementasan ini justru disutradarai oleh seniman Barat, Robert Wilson, dan diadaptasi oleh Rhoda Gruer.

Sebuah kesalahan fatal jika epik seagung I La Galigo malah menjadi tamu di negeri sendiri. Kesadaran kita baru muncul ketika I La Galigo menjadi perbincangan media massa di luar negeri. Adalah sesuatu yang sungguh aneh ketika karya besar bangsa sendiri justru lebih dihargai di mancanegara daripada di negeri sendiri. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.

__________

Dikutip dari Tulisan :

Yusuf Efendi, Redaktur www.MelayuOnline.com & www.WisataMelayu.com

Sumber Foto: http://www.indonesiakreatif.net/upload/Image/berita%20mei/la-galigo-4.jpg

Kamis, 05 Mei 2011

Akupunktur Efektif Atasi "Mata Malas"


KABAR gembira bagi anak-anak yang menderita lazy eye atau biasa disebut mata malas. Studi terbaru di Hong Kong mengungkapkan penyakit ini bisa diobati dengan akupunktur.

Menurut penulis studi Dr Dennis Shun-Chiu Lam, yang memimpin Department of Ophthalmology and Visual Sciences di Chinese University of Hong Kong, pada anak-anak yang berusia tiga sampai tujuh tahun, metode pengobatan akupunktur bersama penggunaan kacamata dapat membantu meningkatkan penglihatan, dibandingkan dengan hanya memakai kacamata.

>Penyakit mata malas (lazy eye) atau biasa disebut juga dengan amblyopia adalah ketika penglihatan pada satu mata lebih buruk daripada yang lain. Menurut American Academy of Ophthalmology, sekitar dua sampai tiga dari 100 orang menderita mata malas.

Mata malas berbeda dengan juling atau strabismus, yaitu ketika titik penglihatan berada dalam dua arah yang berbeda -walaupun banyak orang sering menggunakan kata "mata malas" untuk menggambarkan keduanya.

Di awal penelitian, semua kerusakan penglihatan anakanak yang menjadi partisipan berada dalam tingkat yang hampir sama, yaitu 20/63. Anak-anak yang menjalani pengobatan akupunktur dan menggunakan kacamata ternyata memiliki level penglihatan rata-rata 20/32 di mata yang kabur. Hal ini dibandingkan dengan level penglihatan 20/40 pada anak-anak yang hanya memakai kacamata.

Dr Marc Lustig, asisten profesor di Department Ophthalmology, New York University Medical Center, Amerika Serikat, menyebutkan, perbedaan antara 20/32 dan 20/40 adalah tentang perbandingan antara mereka yang dapat membaca hingga satu baris lebih bawah pada eye chart -tabel yang digunakan untuk memeriksa ketajaman penglihatan.

"Namun, tidak banyak perbedaan antara dua nilai penglihatan ini dalam kehidupan nyata," kata Lustig, yang tidak bekerja pada studi ini, seperti dikutip Reuters Health.

"Dan, penelitian ini tidak akan mengubah cara para dokter untuk mengobati mata malas pada anak-anak," lanjutnya.

Mata malas biasanya diobati dengan kacamata atau plester untuk melatih mata yang rusak untuk bekerja lebih baik. Jika tidak diobati, anakanak bisa mengalami kerusakan persepsi jarak atau malah kehilangan penglihatan secara permanen.

Menurut American Academy of Ophthalmology, setelah anak berusia sembilan tahun atau lebih, kerusakan ini tidak dapat lagi diperbaiki. Sebuah studi sebelumnya oleh kelompok yang sama menyatakan bahwa akupunktur dapat bekerja dengan baik sebagai plester untuk mengobati mata malas. Untuk studi ini, para peneliti memberikan kacamata China yang bersifat korektif untuk 83 anak-anak dengan mata malas.Setelah itu diukur seberapa baik mereka bisa melihat dari kedua mata.

Setengah dari anak-anak tersebut diobati dengan akupunktur lima kali seminggu selama 15 minggu secara bergantian.Mata mereka diuji pada 15, 30, dan 60 minggu setelahnya. Setelah 30 minggu, ketika kedua kelompok telah menerima baik kacamata dan akupunktur, level penglihatan di mata yang buruk adalah sekitar 20/30 pada kedua kelompok. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Ophthalmology ini sebagai crossover study (studi silang).

Itu berarti bahwa perawatan kelompok bergantian sehingga keduanya mempunyai waktu menggunakan kacamata saja dan dengan dan tanpa akupunktur.

"Dengan desain silang, setiap anak akan dijanjikan memiliki kesempatan untuk menerima pengobatan akupunktur sehingga lebih mudah untuk merekrut subjek penelitian dan dapat menurunkan angka putus sekolah," kata Lam.

"Ini adalah keterbatasan yang serius," ucap Dr Peter Lipson, internis di Michigan bagian tenggara, Amerika Serikat, yang tidak bekerja pada studi ini.

"Saya tidak berpikir ada niat jahat, tetapi jika Anda sudah tahu bahwa ini adalah orang-orang yang suka akupunktur, mereka akan sangat rentan terhadap efek bagus plasebo," komentarnya.

"Karena kedua kelompok menerima pengobatan akupunktur, manfaat (dari pengobatan ini) akan sama di kedua kelompok dan efek plasebo seharusnya sudah diminimalkan," kata Lam.

Secara keseluruhan, sebenarnya penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa metode akupunktur adalah sesuatu yang menggunakan efek plasebo.

"Jabat tangan yang hangat dan senyum, setidaknya juga bisa dilakukan," tutur Lipson.

Biaya pengobatan akupunktur sangat bervariasi, bergantung pada tempat Anda tinggal. Namun, umumnya berkisar dari USD25 (sekitar Rp225.000) sampai USD120 (Rp1.080.000) dalam sekali pengobatan. Dengan nilai seperti itu, berarti biaya perawatan pasien mata malas berdasarkan studi ini akan menelan antara USD1.875 (Rp16,875 juta) dan USD9.000 (Rp18 juta).

"Pemakaian plester mata biayanya sekitar USD10 (Rp90.000) per bulan," kata Lustig.